Tahun 1994, semasa tinggal di AS, adalah saat pertamakali saya mengenal internet dan alamat email. Di koran-koran, seniman karikatur mengejek para intelektual yang sedang mabuk kepayang dengan internet dan Information Super Highway. Antara lain digambarkan karikatur orang-orang berkenalan, bersalaman, tapi bukannya tukar menukar alamat rumah atau kantor, melainkan alamat email. Empat belas tahun yang lalu, itu amat lucu.
Sekarang, setiap ketemu orang, yang ditanyakan pada saya adalah: ”Sudah punya alamat di Face Book?” Atau, ”Ikut Face Book ya? Alamatmu apa?”. Bertemu pelukis Hardi di Bogor, Tofan wartawan Jawa Pos, atau ponakan yang seorang banker di Jakarta, yang ditanya alamat FaceBook. Alamat rumah, no telpon, fax, HP, alamat email, sudah kadaluarsa. Apa boleh buat, saya tak punya alamat FaceBook, jadi, bagi sementara orang, saya sudah amat sangat ketinggalan. Sementara itu, beberapa orang lain menganggap mereka yang terobsesi dengan Friendster atau FaceBook sebagai kaum ”narsis”.
Banyak teori saya baca sejak 2006 bahwa ada kecenderungan ”the end of newspaper”, meskipun Rupert Murdoch membantahnya dan menganggap para pengamat itu sinis berlebihan. Namun yang dibantah Murdoch adalah berakhirnya jurnalisme, bukan berakhirnya suratkabar. Dia mengakui industri media memiliki waktu dan sumber daya alam terbatas untuk mencetak. Suratkabar bisa mati dengan punahnya hutan, namun jurnalisme akan tetap hidup, dalam bentuknya yang lain.
Matinya suratkabar menjadi kenyataan saat ini. Di Amerika Serikat, sampai Juli 2008, tak kurang dari 6000 wartawan kehilangan pekerjaan. Bagaimana tidak, halaman koran dikurangi, dan nilai saham perusahaan media terus merosot bagai meteor jatuh ke bumi. Penerbit Miami Herald mengaku sahamnya jatuh sebanyak 77 persen tahun ini. USA Today mencapai angka penjualan terendah selama 17 tahun. The San Francisco Chronicle merugi 1 juta dolar setiap minggu. Tak terhitung lagi koran-koran lokal dan kecil yang berguguran dilanda krisis dunia, termasuk di industri suratkabar di Indonesia.
Karena krisis global, pelanggan koran berhenti berlangganan dan mengkonsumsi informasinya melalui akses internet yang gratis. Di sinilah profesi baru mendapatkan eksistensinya, yaitu para blogger dan citizen journalist. Mereka ini adalah orang ‘siapa saja’ yang terakses pada internet dan mau menulis apa saja. Ini, tentu saja menyedihkan, mengingat peran suratkabar sebagai institusi media resmi berbeda dengan individu berprofesi blogger/citizen journalist. Chris Hedges menulis di Truthdig.com, bahwa suratkabar, bila dijalankan dengan baik, adalah sumber kepercayaan rakyat. Suratkabar memungkinkan warga negara menguji diri sendiri, sekaligus mengawasi kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan di pemerintahan. Pendeknya, suratkabar membuat warga negara terlibat dalam kehidupan politik, sosial, maupun budaya sehari-hari, yang tak mungkin terjadi tanpa kehadiran suratkabar.
Tapi, mengapa orang membeli suratkabar, bila situs dan blog yang gratis menyajikan informasi? Bukankah kemajuan teknologi ini sah-sah saja menghapus peran bahkan eksistensi suratkabar? Isu ini kedengarannya sederhana. Namun mari kita renungkan sesaat. Selain ada kebaikan maraknya blogger dan citizen journalist, kita mesti mempertanyakan, sampai dimana kita dapat mempercayai informasi yang dibuat dan dilaporkan oleh individu ‘siapa saja’ (just anybody)? Para blogger dan citizen journalist ini belum tentu memiliki ketrampilan yang diperlukan untuk menjadi seorang wartawan. Mereka jelas tak memiliki editor yang mengawasi kualitas pekerjaannya, dan tak terikat kode etik yang diperlukan untuk karya jurnalistik. Pertanyaan intinya: bagaimana tanggungjawabnya? Apakah mereka memiliki pengabdian kepada publik, sebagaimana kredo wartawan?
Saat ini di Indonesia terdapat tak kurang dari 500 ribu blogger di antara 33 juta pelanggan internet (catatan tahun 2008), dan angka ini akan terus meningkat. Internet memang sebuah teknologi yang mengubah cara produksi dan distribusi informasi, sebuah lompatan penting sejak mesin cetak Guttenberg lima abad silam. Sementara itu, peran wartawan tak banyak berubah. Observasi (melihat), mewawancarai, memotret, menulis. Inilah yang tak dapat dilakukan secara sempurna oleh para blogger.
Para blogger yang menyiarkan berbagai informasi –padahal informasi yang abundance (berlebihan) dapat membingungkan konsumen informasi itu sendiri- belum tentu terjun ke lapangan, belum tentu melakukan wawancara langsung. Sumber-sumber blogger adalah justru media tradisional (suratkabar, radio, televisi) plus rumor atau kabar selentingan. Batas antara fakta dan opini amat kabur di tangan para blogger. Blogger atau citizen journalist juga kemungkinan besar ditolak aksesnya ke narasumber karena tak memiliki legitimasi profesi. Dengan demikian, informasi mereka selalu dari sumber kesekian atau sumber pinggiran.
Pekan depan Indonesia merayakan Hari Pers Nasional. Wajah pers Indonesia sudah tak seperti dulu lagi. Selain pers sudah bebas, teknologi terus berkembang. Korporasi besar sekarang selalu memiliki media, baik media tradisional (suratkabar, radio, televisi) maupun media baru. Tahun lalu bermunculan media online seperti inilah.com, okezone.com, vivanews.com, yang dimiliki perusahaan-perusahan besar seperti MNC dan kelompok Bakrie.
Selain itu, banyak suratkabar di Indonesia, setidaknya yang saya lihat di Surabaya, menyediakan halaman bagi jurnalis warga negara. Para blogger pun semakin populer dan meningkatkan peran mereka di ranah informasi dan komunikasi. Tak tanggung-tanggung, dua kementrian memberi perhatian penuh pada blogger: Kominfo dan Ristek. Kita semua tentu menyambut baik saudara bungsu kita para blogger dan citizen journalist. Namun kita juga mengingatkan pada para konsumen media: jangan terlalu mabuk kepayang pada informasi dunia maya. Pilihlah informasi yang Anda perlukan dengan bijaksana.
Sekarang, setiap ketemu orang, yang ditanyakan pada saya adalah: ”Sudah punya alamat di Face Book?” Atau, ”Ikut Face Book ya? Alamatmu apa?”. Bertemu pelukis Hardi di Bogor, Tofan wartawan Jawa Pos, atau ponakan yang seorang banker di Jakarta, yang ditanya alamat FaceBook. Alamat rumah, no telpon, fax, HP, alamat email, sudah kadaluarsa. Apa boleh buat, saya tak punya alamat FaceBook, jadi, bagi sementara orang, saya sudah amat sangat ketinggalan. Sementara itu, beberapa orang lain menganggap mereka yang terobsesi dengan Friendster atau FaceBook sebagai kaum ”narsis”.
Banyak teori saya baca sejak 2006 bahwa ada kecenderungan ”the end of newspaper”, meskipun Rupert Murdoch membantahnya dan menganggap para pengamat itu sinis berlebihan. Namun yang dibantah Murdoch adalah berakhirnya jurnalisme, bukan berakhirnya suratkabar. Dia mengakui industri media memiliki waktu dan sumber daya alam terbatas untuk mencetak. Suratkabar bisa mati dengan punahnya hutan, namun jurnalisme akan tetap hidup, dalam bentuknya yang lain.
Matinya suratkabar menjadi kenyataan saat ini. Di Amerika Serikat, sampai Juli 2008, tak kurang dari 6000 wartawan kehilangan pekerjaan. Bagaimana tidak, halaman koran dikurangi, dan nilai saham perusahaan media terus merosot bagai meteor jatuh ke bumi. Penerbit Miami Herald mengaku sahamnya jatuh sebanyak 77 persen tahun ini. USA Today mencapai angka penjualan terendah selama 17 tahun. The San Francisco Chronicle merugi 1 juta dolar setiap minggu. Tak terhitung lagi koran-koran lokal dan kecil yang berguguran dilanda krisis dunia, termasuk di industri suratkabar di Indonesia.
Karena krisis global, pelanggan koran berhenti berlangganan dan mengkonsumsi informasinya melalui akses internet yang gratis. Di sinilah profesi baru mendapatkan eksistensinya, yaitu para blogger dan citizen journalist. Mereka ini adalah orang ‘siapa saja’ yang terakses pada internet dan mau menulis apa saja. Ini, tentu saja menyedihkan, mengingat peran suratkabar sebagai institusi media resmi berbeda dengan individu berprofesi blogger/citizen journalist. Chris Hedges menulis di Truthdig.com, bahwa suratkabar, bila dijalankan dengan baik, adalah sumber kepercayaan rakyat. Suratkabar memungkinkan warga negara menguji diri sendiri, sekaligus mengawasi kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan di pemerintahan. Pendeknya, suratkabar membuat warga negara terlibat dalam kehidupan politik, sosial, maupun budaya sehari-hari, yang tak mungkin terjadi tanpa kehadiran suratkabar.
Tapi, mengapa orang membeli suratkabar, bila situs dan blog yang gratis menyajikan informasi? Bukankah kemajuan teknologi ini sah-sah saja menghapus peran bahkan eksistensi suratkabar? Isu ini kedengarannya sederhana. Namun mari kita renungkan sesaat. Selain ada kebaikan maraknya blogger dan citizen journalist, kita mesti mempertanyakan, sampai dimana kita dapat mempercayai informasi yang dibuat dan dilaporkan oleh individu ‘siapa saja’ (just anybody)? Para blogger dan citizen journalist ini belum tentu memiliki ketrampilan yang diperlukan untuk menjadi seorang wartawan. Mereka jelas tak memiliki editor yang mengawasi kualitas pekerjaannya, dan tak terikat kode etik yang diperlukan untuk karya jurnalistik. Pertanyaan intinya: bagaimana tanggungjawabnya? Apakah mereka memiliki pengabdian kepada publik, sebagaimana kredo wartawan?
Saat ini di Indonesia terdapat tak kurang dari 500 ribu blogger di antara 33 juta pelanggan internet (catatan tahun 2008), dan angka ini akan terus meningkat. Internet memang sebuah teknologi yang mengubah cara produksi dan distribusi informasi, sebuah lompatan penting sejak mesin cetak Guttenberg lima abad silam. Sementara itu, peran wartawan tak banyak berubah. Observasi (melihat), mewawancarai, memotret, menulis. Inilah yang tak dapat dilakukan secara sempurna oleh para blogger.
Para blogger yang menyiarkan berbagai informasi –padahal informasi yang abundance (berlebihan) dapat membingungkan konsumen informasi itu sendiri- belum tentu terjun ke lapangan, belum tentu melakukan wawancara langsung. Sumber-sumber blogger adalah justru media tradisional (suratkabar, radio, televisi) plus rumor atau kabar selentingan. Batas antara fakta dan opini amat kabur di tangan para blogger. Blogger atau citizen journalist juga kemungkinan besar ditolak aksesnya ke narasumber karena tak memiliki legitimasi profesi. Dengan demikian, informasi mereka selalu dari sumber kesekian atau sumber pinggiran.
Pekan depan Indonesia merayakan Hari Pers Nasional. Wajah pers Indonesia sudah tak seperti dulu lagi. Selain pers sudah bebas, teknologi terus berkembang. Korporasi besar sekarang selalu memiliki media, baik media tradisional (suratkabar, radio, televisi) maupun media baru. Tahun lalu bermunculan media online seperti inilah.com, okezone.com, vivanews.com, yang dimiliki perusahaan-perusahan besar seperti MNC dan kelompok Bakrie.
Selain itu, banyak suratkabar di Indonesia, setidaknya yang saya lihat di Surabaya, menyediakan halaman bagi jurnalis warga negara. Para blogger pun semakin populer dan meningkatkan peran mereka di ranah informasi dan komunikasi. Tak tanggung-tanggung, dua kementrian memberi perhatian penuh pada blogger: Kominfo dan Ristek. Kita semua tentu menyambut baik saudara bungsu kita para blogger dan citizen journalist. Namun kita juga mengingatkan pada para konsumen media: jangan terlalu mabuk kepayang pada informasi dunia maya. Pilihlah informasi yang Anda perlukan dengan bijaksana.
Dunia Pers dan Blogger
Reviewed by Jurusan ilmu komunikasi
on
14.55
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar